Menurut pendapat Nawawi, mengatakan bahwa istilah “kinerja” berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja nyata) yang dicapai seseorang. Secara terminologi, pengertian “kinerja” adalah “hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan jabatan atau tanggung jawab yang diberikan kepadanya”
Adapun Pengertian kinerja menurut pendapat para ahli sebagai berikut:
- Menurut pendapat Siagian mengatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan misi dan visi organisasi. Dari konteks tersebut kinerja guru yang dikemukakan dalam buku ini adalah tingkat pelaksanaan kerja yang dilakukan karyawan berdasarkan tujuan, misi, dan visi organisasi.
- Menurut pendapat Maler menyatakan bahwa kinerja sebagai unjuk kerja yaitu sebagai keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Perbedaan unjuk kerja antar individu dalam situasi kerja adalah akibat adanya perbedaan karakteristik individu dan situasi yang berbeda”.Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa unjuk kerja terutama dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor individu dan situasi.
- Menurut pendapat Bernardin dan Russel memberi batasan mengenai kinerja sebagai: “the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time periode," yang berarti catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode waktu tertentu.
- Menurut pendapat Muthis dan Gasperz mendefinisikan kinerja adalah: “penampilan perilaku kerja yang sesuai dengan kerja yang ditandai oleh keluwesan gerak ritual dan urutan kerja yang sesuai prosedur sehingga diperoeh hasil yang memenuhi syarat kualitas kecepatan dan jumlah”.
- Menurut pendapat Mangkunegara “kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
- Menurut pendapat Drucker, kinerja yang mengandung arti unjuk kerja prestasi. Drucker mengemukakan bahwa performance dipengeruhi oleh motif-motif individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Drucker mengemukakan bahwa kinerja mempunyai lima dimensi, yaitu: Pertama, Dimensi fisiologis, yaitu manusia akan bekerja dengan baik bila bekerja dalam konfigurasi operasional bersama tugas dan ritme kecepatan sesuai keadaan fisiknya. Kedua, Dimensi psikologis, yaitu bekerja merupakan ungkapan kepribadiannya karena seseorang yang mendapatkan kepuasan kerja akan berdampak pada kinerja yang lebih baik. Ketiga, Dimensi sosial, yaitu bekerja dapat dipandang sebagai ungkapan hubungan sosial di antara sesame karyawan. Keempat, Dimensi ekonomi, yaitu bekerja adalah kehidupan bagi karyawan. Imbalan jasa yang tidak sepadan dapat menghambat atau memicu karyawan dalam berprestasi. Kelima, Dimensi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara apa yang diperoleh dari pekerjaan dengan kebutuhan hidup akan memacu seseorang untuk berusaha lebih giat guna mencapai keseimbangan.Dimensi ini disebut juga dimensi kekuasaan pekerjaan karena ketidakseimbangan dapat menimpulkan konflik yang dapat menurunkan kinerja.
Menurut Gibson, terdapat empat faktor yang diukur dalam penilaian performansi kerja sebagai berikut:
- Performance, menyangkut kemampuan untuk promosi karyawan, prestasi dalam menyelesaikan pekerjaan.
- Conformance, merefleksikan bagaimana individu bekerja sama dengan atasan dan rekan-rekan serta kepatuhan terhadap peraturan organisasi.
- Dependability, melihat sejauh mana tingkat kedisiplinan karyawan terhadap aturan yang ditetapkan dan disetujui oleh karyawan sendiri.
- Personal adjustment, melihata bagaimana kemampuan karyawan dari segi emosional untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja.
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan sentral dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara pada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada sistem yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi.
Hasibuan mengemukakan bahwa tidak kurang dari 11 dimensi kerja yang biasa dinilai, yaitu: 1) Kesetiaan, 2) Prestasi kerja, 3) Kejujuran, 4) Kedisiplinan, 5) Kreativitas, 6) Kerja sama, 7) Kepemimpinan 8) Kepribadian, 9) Prakarsa, 10) Kecakapan, dan 11) Tanggung jawab
Tingkatan kinerja guru dapat diketahui melalui penilaian prestasi kerja, yakni evaluasi yang dilakukan secara periodic dan sistematis tentang kerja atau jabatan seorang guru, termasuk potensi pengembangannya. Sumidjo mengemukakan bahwa: “proses penilaian kerja dapat dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan kerja atau bahkan dilakukan oleh dirinya sendiri.
Pendapat Sergiovanni menyatakan bahwa kinerja guru erat kaitannya dengan peningkatan pemberdayaan guru tersebut di mana guru harus dapat mengkritisi kurikulum secara mandiri, dapat mengelola kelas dan bahan ajarnya serta dapat meningkatkan cara mengajarnya secara efisien. Sesuai dengan yang dikemukakan bahwa kualitas produktivitas kinerja guru dapat dilihat dari sikap dalam pelaksanaan tugas pendidikan dan pengajarannya. Tarik menari antara keharusan peningkatan kompetensi professional guru dengan tidak memadainya kesejahteraan guru sampai saat ini masih merupakan bahan diskusi yang tidak habis-habisnya.
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan maupun sikap professional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru, antara lain: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan dimaksud antara lain: (1) kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran yang diajarkan guru tidak maksimal, (2) kurang sempurnanya pembentukan karakter yang tercermin dalam sikap dan kecakapan hidup yang dimiliki oleh setiap siswa, (3) rendahnya kemampuan membaca, menulis dan berhitung siswa terutama di tingkat dasar. Sehubungan dengan itu, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang berisi perintisan pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Mengajar di daerah merupakan bentuk dari upaya peningkatan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
Berdasarkan uraian diatas, Direktor Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan standar kompetensi guru yang berhubungan dengan: (1) Komponen kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Pendidikan, (2)Komponen kompetensi Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran, (3) Pengembangan Profesi. Komponen-komponen standar kompetensi guru ini mewadahi kompetensi professional, personal dan sosial yang harus dimilik oleh seorang guru. Pengembangan standar kompetensi guru diarahkan pada peningkatan kualitas guru dan pola pembinaan guru yang terstruktur dan sistematis.
Tujuan adanya standar kompetesi guru sebagai jaminan dikuasainya tingkat kompetensi minimal oleh guru sehingga yang bersangkutan dapat melakukan tugasnya secara professional, dapat dibina secara efektif dan efisien serta dapat melayani pihak yang berkepentingan terhadap proses pembelajaran, dengan sebaik-baiknya sesuai bidang tugasnya.
Hasibuan mengemukakan bahwa tidak kurang dari 11 dimensi kerja yang biasa dinilai, yaitu: 1) Kesetiaan, 2) Prestasi kerja, 3) Kejujuran, 4) Kedisiplinan, 5) Kreativitas, 6) Kerja sama, 7) Kepemimpinan 8) Kepribadian, 9) Prakarsa, 10) Kecakapan, dan 11) Tanggung jawab
Tingkatan kinerja guru dapat diketahui melalui penilaian prestasi kerja, yakni evaluasi yang dilakukan secara periodic dan sistematis tentang kerja atau jabatan seorang guru, termasuk potensi pengembangannya. Sumidjo mengemukakan bahwa: “proses penilaian kerja dapat dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan kerja atau bahkan dilakukan oleh dirinya sendiri.
Pendapat Sergiovanni menyatakan bahwa kinerja guru erat kaitannya dengan peningkatan pemberdayaan guru tersebut di mana guru harus dapat mengkritisi kurikulum secara mandiri, dapat mengelola kelas dan bahan ajarnya serta dapat meningkatkan cara mengajarnya secara efisien. Sesuai dengan yang dikemukakan bahwa kualitas produktivitas kinerja guru dapat dilihat dari sikap dalam pelaksanaan tugas pendidikan dan pengajarannya. Tarik menari antara keharusan peningkatan kompetensi professional guru dengan tidak memadainya kesejahteraan guru sampai saat ini masih merupakan bahan diskusi yang tidak habis-habisnya.
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan maupun sikap professional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru, antara lain: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan dimaksud antara lain: (1) kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran yang diajarkan guru tidak maksimal, (2) kurang sempurnanya pembentukan karakter yang tercermin dalam sikap dan kecakapan hidup yang dimiliki oleh setiap siswa, (3) rendahnya kemampuan membaca, menulis dan berhitung siswa terutama di tingkat dasar. Sehubungan dengan itu, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang berisi perintisan pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Mengajar di daerah merupakan bentuk dari upaya peningkatan kualitas tenaga kependidikan secara nasional.
Berdasarkan uraian diatas, Direktor Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional menerapkan standar kompetensi guru yang berhubungan dengan: (1) Komponen kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Pendidikan, (2)Komponen kompetensi Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran, (3) Pengembangan Profesi. Komponen-komponen standar kompetensi guru ini mewadahi kompetensi professional, personal dan sosial yang harus dimilik oleh seorang guru. Pengembangan standar kompetensi guru diarahkan pada peningkatan kualitas guru dan pola pembinaan guru yang terstruktur dan sistematis.
Tujuan adanya standar kompetesi guru sebagai jaminan dikuasainya tingkat kompetensi minimal oleh guru sehingga yang bersangkutan dapat melakukan tugasnya secara professional, dapat dibina secara efektif dan efisien serta dapat melayani pihak yang berkepentingan terhadap proses pembelajaran, dengan sebaik-baiknya sesuai bidang tugasnya.
0 comments:
Post a Comment