Sobat Bookletku.com - Tingkat kualitas kompetensi profesi seseorang itu tergantung kepada tingkat penguasaan kompetensi kinerja sebagai ujung tombak serta tingkat kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian sebagai landasan dasarnya, maka implikasinya ialah bahwa dalam upaya pengembangan profesi dan perilaku guru itu keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan keterpaduanya secara proporsional. Lieberman menunjukkan salah satu esensi dari suatu profesi itu adalah pengabdian kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya, karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian termaksud. Dengan demikian, maka identitas dan jati diri seorang tenaga kependidikan yang professional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan kepribadian yang mantap dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang keahliannya.
Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin di antara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoretis, politis atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insane. Akan tetapi, bagi pengembang profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyayangi sesama manusia).
Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikulernya seperti “Student Sel-gouvernment Activities” dan “Community Services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang mamadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pascapendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuhkembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan “memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajibannya yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternative mana yang diminatinya sebagaimana disarankan secara umum, melalui: (1) Pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2) Pendidikan non formal (sepanjang tersedia); (3) Keikutsertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dan sebagainya yang relevan dengan bidang keprofesiannya; (4) Belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang actual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
Telah dijelaskan di atas bahwa perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak dalam tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tidak lain ialah kompetensi guru.
Di dalam bahasa Inggris terdapat minimal tiga peristilahan yang mengandung makna apa yang dimaksudkan dengan perkataan kompetensi itu.
Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin di antara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoretis, politis atau religius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insane. Akan tetapi, bagi pengembang profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyayangi sesama manusia).
Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di dalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikulernya seperti “Student Sel-gouvernment Activities” dan “Community Services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang mamadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pascapendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.
Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuhkembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan “memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajibannya yang harus dipenuhi oleh setiap guru.
Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternative mana yang diminatinya sebagaimana disarankan secara umum, melalui: (1) Pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2) Pendidikan non formal (sepanjang tersedia); (3) Keikutsertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dan sebagainya yang relevan dengan bidang keprofesiannya; (4) Belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang actual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
Telah dijelaskan di atas bahwa perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak dalam tugas dan tanggung jawab tersebut erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang disyaratkan untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tidak lain ialah kompetensi guru.
Di dalam bahasa Inggris terdapat minimal tiga peristilahan yang mengandung makna apa yang dimaksudkan dengan perkataan kompetensi itu.
- Competence (n) is being competent, ability (to do the work).
- Competent (adj.) refers to (persons) having ability, power, authority, skill, knowledge, etc. (to do what needed).
- Competency is rational performance which satisfactorily meets the objectives for a desired condition.
Definisi pertama menunjukkan bahwa kompetensi itu pada dasarnya menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk mengajarkan sesuatu pekerjaan. Sedangkan definisi kedua menunjukkan lebih lanjut bahwa kompetensi itu pada dasarnya merupakan suatu sifat (karakteristik) orang-orang (kompeten) ialah yang memiliki kecakapan, daya (kemampuan), otoritas (kewenangan), kemahiran (keterampilan), pengetahuan, dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukan. Kemudian definisi ketiga lebih jauh lagi, ialah bahwa kompetensi itu menunjukkan kepada tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi (prasyarat) yang diharapkan.
Dengan menyimak makna kompetensi tersebut dia atas, maka dapat dimaklumi jika kompetensi itu dipandang sebagai pilarnya kinerja dari suatu profesi. Hal itu mengandung implikasi bahwa seorang profesional yang kompeten itu harus dapat menunjukkan karakteristik utamanya, antara lain:
Dengan menyimak makna kompetensi tersebut dia atas, maka dapat dimaklumi jika kompetensi itu dipandang sebagai pilarnya kinerja dari suatu profesi. Hal itu mengandung implikasi bahwa seorang profesional yang kompeten itu harus dapat menunjukkan karakteristik utamanya, antara lain:
- Mampu melakukan sesautu pekerjaan tertentu secara rasional. Dala arti, ia harus memiliki visi dan misi yang jelas mengapa ia melakukan apa yang dilakukannya berdasarkan analisis kritis dan pertimbangan logis dalam membuat pilihan dan mengambil keputusan tentang apa yang dikerjakannya. “He is fully aware of why he is doing what he is doing”.
- Menguasai perangkat pengetahuan (teori dan konsep, prinsip dan kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan informasi, dan sebagainya) tentang seluk beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya. “He really knows what is to be done and how do it”.
- Menguasai perangkat keterampilan (strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana dan instrument, dan sebagainya) tentang cara bagaimana dan dengan apa harus melakukan tugas pekerjaannya. “He actually knows through with ways he should go and how to go through.”
- Memahami perangkat persyaratan ambang tentang ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat ditoleransian dan kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang dilakukannya.
- Memilikidaya (motivasi) dan citra (aspirasi) unggul dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekadar puas dengan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yang sebaik mungkin (profesiencies). “He is doing the best with a high achievement motivation.”
- Memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas penguasan perangkat kompetensinya yang dalam batas tertentu dapat didemontrasikan dan teruji, sehingga memungkinkan memperoleh pengakuan pihak berwenang.
0 comments:
Post a Comment