Sobat Bookletku -Pendidikan karakter, terambil dari dua suku kata yang berbeda, yaitu pendidikan dan karakter. Kedua kata ini mempunyai makna sendiri-sendiri. Pendidikan lebih merujuk pada kata kerja, sedangkan karakter lebih pada sifatnya. Artinya, melalui proses pendidikan tersebut, nantinya dapat dihasilkan sebuah karakter yang baik.
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal).
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal).
Pedagogi kenamaan Jerman yang bernama F.W. Foerster merupakan pencetus pendidikan karakter pertama kali. Karakter menurut Foerster adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi pengalaman kontigen yang selalu berubah. Jadi karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. Dengan karakter itulah kualitas seseorang pribadi diukur. Sedangkan tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan sikap/nilai hidup yang dimilikinya. Jadi, pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pendidikan nilai pada diri seseorang.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan seperangkat nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, yang membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain, tanpa koherensi maka kredibilitas seseorang akan runtuh. Ketiga, otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan nilai-nilai dari luar sehingga menjadi nilai-nilai pribadi, menjadi sifat yang melekat, melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari orang lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dengan educational networks (jejaring kerja pendidikan) yang mulai terputus tersebut.pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan oleh Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah).
Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar (punishment), menumbuh suburkan (cherishing) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengencam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada, di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran agama, sejarah, moral pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab mengatakan, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, pemyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Hj. Rohana Kudus, Dewi Sartika, Prof. H. A. Mukti Ali dan sebagainya. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengajarkan praktik pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”. Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan “among”, yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika dan perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau wakat seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha mengadaptasi pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam. Sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun dunia pendidikan kita yang masih saja berkutat dengan problem internalnya, seperti penyatik dikotomi, profesionalitas pendidikannya dan lain sebagainya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan seperangkat nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, yang membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain, tanpa koherensi maka kredibilitas seseorang akan runtuh. Ketiga, otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan nilai-nilai dari luar sehingga menjadi nilai-nilai pribadi, menjadi sifat yang melekat, melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari orang lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dengan educational networks (jejaring kerja pendidikan) yang mulai terputus tersebut.pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan oleh Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah).
Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar (punishment), menumbuh suburkan (cherishing) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengencam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada, di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran agama, sejarah, moral pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab mengatakan, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, pemyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Hj. Rohana Kudus, Dewi Sartika, Prof. H. A. Mukti Ali dan sebagainya. Ki Hajar Dewantara, misalnya mengajarkan praktik pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”. Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan “among”, yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika dan perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau wakat seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha mengadaptasi pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam. Sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun dunia pendidikan kita yang masih saja berkutat dengan problem internalnya, seperti penyatik dikotomi, profesionalitas pendidikannya dan lain sebagainya.
0 comments:
Post a Comment